hukum adat dalam UU Nomor 1 Darurat 1951
Ada dua ketentuan dalam UU ini yang menyangkut persoalan tentang hukum adat yaitu:
Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan antara lain: Pada saat berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan:
1) Pengadilan Swapraja (Incheemese-rechtspraak) dalam negeri Sumatera Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu kecuali Pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan Swapraja.
2) Segala Pengadilan Adat(Inheemse-rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied) kecuali pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan adat.
Pasal 5 ayat (3) sub b, yang menyatakan: hukum materil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kawula-kawula dan orang-orang itu dengan pengertian:
1) Bahwa suatu perbuatan yang menurut yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tida bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum dan;
2) Bahwa bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud diatas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun penjara dengan pengertian bahwa hukum adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut diatas.
3) Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum pidana sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip dengan perbuatan itu. Wulansari (2012:109)
Ada dua ketentuan dalam UU ini yang menyangkut persoalan tentang hukum adat yaitu:
Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan antara lain: Pada saat berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan:
1) Pengadilan Swapraja (Incheemese-rechtspraak) dalam negeri Sumatera Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu kecuali Pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan Swapraja.
2) Segala Pengadilan Adat(Inheemse-rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied) kecuali pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan adat.
Pasal 5 ayat (3) sub b, yang menyatakan: hukum materil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kawula-kawula dan orang-orang itu dengan pengertian:
1) Bahwa suatu perbuatan yang menurut yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tida bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum dan;
2) Bahwa bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud diatas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun penjara dengan pengertian bahwa hukum adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut diatas.
3) Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Undang-undang Hukum pidana sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip dengan perbuatan itu. Wulansari (2012:109)
0 comments